Serasa Baru Sehari







Sabtu, 31 Januari 2015

Hujan memaksaku kembali pulang setelah sepuluh menit mencoba menembusnya. Sebaiknya memang saya menunda perjalanan. Langit barat sudah memberikan kode, awan hitam menggantung siap menumpahkan air.

Petunjuk itu kuabaikan. Sepatu kukenakan. Tas selempang sebulan terakhir kugunakan kuganti ransel yang pas melekat di punggung. Siap menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih menuju selatan kota Makassar. Selepas asar yang tidak kutunaikan. Selalu begitu bila desakan kudahulukan. Saya didesak perjudian seolah ada ancaman.

Benar saja, di jalan Hertasning saya kuyup. Saya menduganya baru sekitar sepuluh menit kulajukan sepeda motor. Tenda tambal ban kusinggahi berteduh. Kalau saja tidak ada laptop meringkuk di ransel. Persetan dengan air yang turun dari langit. Kubilang juga apa. Tetapi bayangan mendapati warung kopi sebagai tempat singgah memaksa mendesak. Perjudian kali ini saya kalah.

Pemilik tenda memaksakan tersenyum. Percayalah, itu bukan senyum, sangat tidak pantas. Keberadaannya di titik keterpaksaan. Sialan! Lelaki tua itu, kutaksir dari keriput wajahnya. Memaksa suasana lebih parah. Tubuhnya sudah dibaluti mantel, ikut-ikutan berteduh. “Walau pakai mantel, jika deras begini, sebaiknya menunda perjalanan.” Kau kira ada yang mau menanggapi. Di bawah naungan tenda plastik hampir roboh, kita berdua hanyalah duka bagi pemiliknya. Kecuali kalau kita sepakat mengganti ban dalam dan sebaiknya tidak perlu menambah angin. Itu kepura-puraan paling kurang ajar.

Adegan baru selesai setelah kulajukan sepeda motor melewati jalur di mana saya kuyup tadi. Menjerang air seukuran cangkir begitu sampai. Laptop kuaktifkan dan memulai rutinitas. Mengecek pekerjaan yang tak selesai-selesai. Bukan apa-apa, hanya catatan lepas saja, jika redaktur koran mengantuk, catatan itu akan dimuat di rubrik opini. Lumayanlah menutupi utang rokok.

Sabtu ini perkiraanku meleset lagi. Seharusnya dua koran memuat dua tulisan yang kukirim seminggu lalu. Saya tidak begitu paham ukuran redaktur menolak, segala upaya telah kuupayakan. Jika ukurannya menangkap isu hangat, mestinya sudah dimuat dua hari lalu. Saya ingat, pernah ada catatan yang kukirim membuatku lupa menunggunya setahun. Begitu kucek di laman online koran bersangkutan, malah sudah dimuat. Koran itu berutang untuk selamanya. Karena saya tak mungkin lagi datang ke kasir membuka luka lama mengutarakan maksud. Ah, sudahlah! Biarkan saja mengendap.

Hujan perlahan mereda. Kuraih ponsel yang ikut tergantung di saku baju di belakang pintu. Satu panggilan tidak terjawab dan dua pesan belum dibaca. Dugaanku, pesan operator saja. Begitu kuperiksa, benar, pesan berulang mengingatkan kuota pemakaikan pulsa atau ucapan selamat sambil menggoda membeli paket layanan menelepon. Pesan yang satu, pengingatan hari ulang tahun. Saya benar-benar lupa rupanya. Besok, 1 Februari, Ardika Lentera genap setahun.

Anak ini. Anak dari bangsa Bugis. Emaknya berumpun Bugis dari Sinjai, dan saya, bapaknya, dialiri darah Bugis Maros dan Pangkep. Sejak mulai merangkak dan sedikit pandai mengutarakan keinginan. Kulafalkan bahasa Bugis. Bukan bahasa persatuan, Indonesia. Kubayangkan, kelak ia akan mengalami sedikit keterasingan berkomunikasi di tengah kawan sejawatnya yang kuyakin tumbuh atas didikan bahasa persatuan tadi. Tidak apa-apa, keterasingan itu proses baginya. Sebab pandirlah saya. Bukan, saya terjebak pada mental inferioritas kalau menganggap bahasa Bugis tidak tepat dianjurkan sedini mungkin. Itu kan bahasa kaumnya. Bahasa bangsanya yang lahir dari rahim Bugis. Dalam diaspora Bugis, persatuan itu dijunjung tinggi. Sederajat dengan pemuliaan kemanusiaan. Tentulah ke depan sudah menjadi tugasnya mengalami bahasa persatuan atas imaji sebuah bangsa. Bukankah bahasa Bugis media komunikasi persatuan juga. Tidak ada saya kira semua manusia Bugis di kolong langit pernah berjumpa di satu tempat.

Hujan tak benar-benar berhenti. Masih ada rintik. Langit pun masih mendung. Hanya gelegar guntur yang absen. Kukemas laptop ke dalam ransel. Jaket kukenakan. Sepatu kutinggal dan menggantinya sendal jepit. Tak ingin kuyup lagi. Mantel kupakai lebih awal. Dengan cara itulah kutempuh kembali jalur ke selatan.

Beberapa ruas jalan menjelma sungai. Air hujan kekurangan hak mengalir di got. Kendaraan melambat membentuk parade antrean. Seolah menunggu giliran menaiki bahtera Nuh sebelum ditenggelamkan banjir. Ada banyak serapah, saya kira, juga doa untuk keselamatan diri sendiri. Doa egois semacam itu menjadi penting di situasi gawat. Persetan doa untuk pemimpin.

Di perbatasan Makassar dengan kabupaten Maros. Mesin-mesin menemukan dirinya meraung tak berguna. Tiada daya mengantar tuannya melaju ke tujuan sesegera mungkin. Sepertinya revolusi industri tewas tergilas di sini. Pada siapalah mereka-mereka itu mengadu. Tidak ada mendengar. Petugas legal lalu lintas menyerahkan urusan pada pengais iba. Berengsek! Magrib tak lama lagi menyelimuti.

Jarak Maros ke Pangkep masih perlu melewati dua sungai. Di sungai pertama, di jantung kota, kendaraan selalu pelan menunggu giliran melintas. Saya bisa menjawab soal ini. Di sisi timur masih berfungsi jembatan lama. Setelahnya, barulah jalan raya dilalui tanpa hambatan. Di atas sungai kedua, jembatan selalu sepi.

Azan isya mulai terdengar tak lama setelah sepeda motor kubelokkan menuju rumah mertua. Meninggalkan perlintasan jalur trans Sulawesi. Selesai sudah titian perjalanan yang selalu kuulang saban Sabtu sejak 2011 silam.

Tidak boleh ada lelah di depan anak yang memendam rindu. Prinsip yang kerap membuatku menderita sendiri. Usia setahun belumlah penuh ingatan yang bisa menjadi referensi di usia selanjutnya. Anak itu, tak memiliki hak menjadi tahu lelahnya tubuh.

Malam terlewati dengan sempurnanya lelap. Azan subuh tak terdengar. Kopi dalam gelas kudapati sudah dingin. Ardika Lentera merengek. Kata emaknya sudah sejak tadi. “Banyak anak lelaki, tetapi gesitnya tidak semacam Dika.” Suatu ketika emaknya mengadu. Ungkapan klise yang sudah sering kudengar. Kakak perempuanku juga pernah mengucapnya merespons tingkah anak lelakinya. Kayak iklan sepeda motor saja, Si gesit irit.

Perlintasan waktu dimulai tadi malam, saat kedua jarum jam sepakat bertemu di angka dua belas. Namun, siapa mampu terbangun. Tidak saya. Tidak emaknya. Kuingat, menjelang pukul tiga dinihari kulirik jam dinding. Saya terbangun kencing dan meringkuk lagi dalam sarung. Hujan masih saja mengguyur. Kuharap hingga pagi.

Dahulu, di usia sepuluh tahun, saya lupa persinya, tetapi ketika anak lelaki sudah bisa berlari. Kedewasaan sudah dilekatkan. Tugas utama mengantar sapi ke tanah lapang. Tugas ini menjadi lebih berat di musim hujan. Bayangkanlah hujan turun di pagi hari, ini doa para pemalas, dan saya senang termasuk di dalamnya. Namun, tidur harus segera diakhiri melawan dingin menerobos hujan demi tejaminnya asupan kawanan sapi. Lelaki dan perempuan dalam keluarga Bugis sama derajatnya, ini yang kualami. Malah, perempuan terasa lebih perkasa dalam satu keluarga yang tidak dianugerahi anak lelaki.

Ardika Lentera selalu bangun lebih awal. Menggoyang tubuh emaknya berharap membawanya berjumpa matahari. Ia sangat akrab dengan jendela dan pintu. Kadang penuh pengertian, pernah kualami, ia terbangun saja tanpa mengganggu nyenyak emaknya. Khawatir terjun dari ranjang. Konon, anak-anak tak kenal takut. Api pun akan disentuh jika tidak ditahan. Mata masih berat, tentu saja, harus kulawan dan memegang kakinya sebelum anak itu terjungkal. Kurasa ia bukan bocah dalam serial kartun Krisnha.

Minggu, 1 Februari 2015

Istri girang mendapati pulsa di ponselku berlimit seratus tiga belas ribu rupiah. Kuyakinkan kalau saya tak pernah mengisi sebanyak itu. Kucek pesan di kotak masuk, didominasi dari operator. Pesan berulang mengabarkan layanan paket menelepon. Tidak ada menerangkan kalau M-Kios telah melakukan pengisian ulang.

Nyatanya memang demikian, istri sudah memindahkan pulsa dua puluh ribuh rupiah sebagai bukti. Saya masih belum percaya. Kutunggu pesan pendek yang meminta pulsa sebanyak itu dikembalikan. Hingga kopi dingin tandas dan asbak sudah terisi empat puntung. Tidak ada pesan malang itu.

Saya berlalu ke kamar mandi. Mengguyur badan dan bersiap mengajak Ardika Lentera ke alun-alun kota, Taman Musafir. Berdasarkan info seorang kawan, ada festival anak-anak muda. Saya tidak tertarik dengan programnya. Saya hanya ingin mengajak Dika menononton keramaian saja dan mengecek ulasan koran edisi Minggu. Kali saja ada catatanku dimuat. 7 Desember 2014, di hari kelahiranku, ulasan tentang buku yang kuresensi dimuat. Redaktur mungkin ingin mengucap selamat ulang tahun. Jika benar demikian, kurasa ia tidak mengantuk. Saya kenal baik dengannya.

Dika menikmati situasi, ia sudah pandai menunjuk mengutarakan maksud. Ia ingin membaur dalam massa. Jika saja kelompok massa itu memiliki agenda memprotes keputusan pemerintah, kita akan ke sana, nak. Hanya saja, massa yang ada di depan mata bukanlah takaran dalam imajinasi Tan Malaka. Sudah, kita pulang saja.

Di rumah, istri masih merayakan pulsa nyasar. Senyumnya terus merekah seolah memperoleh surat keputusan pengangkatan dirinya Pegawai Negeri Sipil, keinginan ribuan pegawai kategori dua (K2) di Pangkep dan jutaan rakyat Indonesia yang menggadai nasibnya di instansi pemerintah.

Kucek kembali pesan masuk. Ia melewatkan sebuah pesan dari nomor yang tidak terdaftar. “Sekadar info, ada kiriman untuk Anda, silakan ke Tiki JNE di jalan Mawar, samping Rumah Sakit.” Demikian isi pesan.

Ia makin girang, memintaku segera ke sana. Berharap kiriman yang berarti. Dalam hati, tak mungkinlah itu berupa uang tunai. Paling kiriman buku dari Yogyakarta atau sertifikat pemenang lomba blog.

Waktu menuju pukul sebelas siang, kupilih memandikan Dika. Biasanya ia kembali pulas di ayun. Hanya beberapa ayunan, anak itu sudah melupakan botol minyak telon yang menjadi mainannya sebelum kedua matanya terpejam. Di selah itulah saya menuju kantor jasa pengiriman barang. Sudah kuduga, empat exemplar buku tentang difabilitas yang menerangkan bahwa manusia tidak ada yang disebut “normal” atau “tidak normal” pelabelan itu merupakan konstruksi sosial. Ada juga sertifikat dari penyelenggara lomba blog yang kuikuti bulan lalu.

Buku dan sertifikat itu sengaja kusembunyikan dalam tas begitu tiba kembali di rumah. Jika istri bertanya tentang kiriman, akan kukatakan kalau kantor tutup dan baru bisa diambil ke esokan hari. Buku bukan kegemarannya, ia selalu berharap mendapat hadiah telepon pintar saja. Peluang itu memang ada, setelah penetapan juara, panitia menghubungi menyangkut hadiah. Menawarkan dua pilihan, berupa barang atau uang tunai. Tegas kupilih uang karena memang pengantar mencukupi kebutuhan. Selesai.

Kepemilikan telepon pintar kuanggap belum kebutuhan untukku. Bila mendekapnya, benda itu akan menyita waktuku membaca. Lagi pula saya pernah menulis tentang kepemilikan benda-benda itu sebagai tahapan revolusi yang tidak dialami. Soal keinginan istri memiliki, misalnya, tak lebih karena ia rikuh di antara teman-temannya. Pasalnya, ia masih menggunakan ponsel jadul. Jika mau, ia bisa saja langsung membeli. Kupikir tabungannya cukup. Tetapi ia emoh sendiri. Tak sudi mendapati Dika menghempaskannya ke lantai dan sambil menahan murka juga air mata memungut remah benda pintar itu. Hahahaha, Dika menjadi benteng bagi emaknya agar tidak terjebak pada konsumerisme belaka.

Selepas jamuan makan siang, kami bertiga menuju toko serba murah. Tadinya saya memilih toko buku yang baru saja dibuka di Pangkep. Di kota berdinding karst ini masih ada juga orang yang mau memaksakan diri berdagang buku. Saya yakin, toko itu akan sepi selalu. Di kota yang hanya terdapat empat perguruan tinggi. Mahasiswa macam apa yang mau membaca.

Di toko baju, oleh emaknya, Dika dihadiahi baju model kemeja motif kotak-kotak. Mengingatkan seragam yang digunakan seorang lelaki kurus yang belum menuntaskan masa jabatan menyandang kepala pemerintahan Gubernur ibu kota negara. Lelaki yang membuat iri banyak orang karena menjadi magnit masyarakat memilihnya di pemilihan presiden.

Itu saja, selembar baju. Sepeda motor kulajukan ke desa Kabba. Menjenguk rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya selama empat bulan. Emak saya berangkat ke Papua memenuhi ajakan anak perempuannya. Tinggallah rumah itu tak berpenghuni. Mulanya masih ada paman yang menjaga. Usia senja membuatnya selalu sakit dan memilih berdiam di rumah saudaranya yang lain di Maros.

Rumah panggung itu hanya ramai jika ada hajatan. Terakhir peringatan maulid pada 2 Januari lalu. Saya dan dua saudara, alpa tujuh saudara yang semuanya menetap di tanah rantau masing-masing. Bersepakat pulang dan turut menggelar maulid Nabi. Tradisi di kampung yang selalu dilaksanakan.

Di hari-hari tanpa penghuni itu, bohlam di teras dinyalakan tetangga sebagai tanda kalau rumah panggung itu masih memiliki nafas. Dua tetangga bergantian membayar iuran air PAM dan tagihan listrik. Saya atau kakak lelaki akan menggantinya bila datang berkunjung sekali seminggu.

Dika kugendong melihat petak kamar yang satu sisi dindingnya dipenuhi buku. Sesekali ia bersin menandakan buku-buku malang itu diselimuti debu. Mengangkutnya ke kota atau membawanya ke rumah mertua, bukanlah pilihan. Malang sekali. Nasibmu tak terurus. Kau melewati hari-hari panjang tanpa kawan.

Sekarang lihat dan kenalilah, untukmu kubawakan kawan kecil. Ardika Lentera, namanya, nama yang belum memperoleh kesepakatan dari emaknya, menurutnya, Lentera nama majalah. Itu benar, saya dan beberapa kawan pernah menggagas majalah menggunakan nama itu yang terbit tiga edisi.

Usai bertemu tetangga, kami kembali pulang. Di sisa sore menjelang saya kembali mengulang rute perjalanan ke Makassar. Kue ulang tahun berbentuk kepala Doraemon. Emaknya sendiri memilih. Lucu, katanya. Emakmu punya selera humor sendiri.



Apa kau tahu, Ardika Lentera! Pasti belum kau paham, usiamu belum memberi jaminan. Kelak juga kau tahu, Doraemon itu kucing pintar tokoh serial komik gubahan Fujiko F Fujio, ia memiliki kantong ajaib yang menjadi pengabulan doa Nobita dalam menghadapi tantangan hidupnya. Dari kantong itulah, Doraemon menjelma Tuhan. Kunfakayun, maka jadilah. Muncullah ragam benda yang menjadi solusi atas masalah. Doraemon menjelma penerang. Seperti itulah makna lentera, cahaya yang menyingkap kegelapan.

Tetapi, jejak hidup yang dihadapi tidaklah semuda dalam pikiran Doraemon. Juga, kau bukan Nobita. Ingat itu. Kau manusia yang hidup di bumi. Segala tantangan diselesaikan dengan cara-cara logika di bumi. Ruang yang digelisahkan malaikat kepada Tuhan. Manusia akan saling membunuh atas kekuasaan. Jejaknya dimulai Qabil membunuh Habil, Imam Husain dibantai balatentara Yazid. Ini bukan dongeng, malaikat benar dan Tuhan mengetahui apa-apa yang tidak dipikirkan malaikat.

Sabtu, 1 Februari 2014, kau lahir di rumah sakit bernama yang tak ternama di Makassar. Kakak perempuanku yang merekomendasikan, dua anak perempuannya juga lahir di situ. Sebab kau lelaki, nama rumah bersalin itu kujadikan nama untukmu. Akronim nama kakekmu, Abdul Razak yang telah lama mangkat ditempatkan di depan. Dan, jadilah Ar + Dika = Ardika. Lentera kusematkan setelahnya, tetapi emakmu memilih namaku di akta lahirmu. Ah, sebenarnya saya ingin kau jauh dari bayang-bayangku.

Selanjutnya, Minggu, 1 Februari 2015. Serasa baru sehari, kan! Sabtu kau lahir, esoknya, Minggu, kau telah melewati 360 hari. Kayak kisah seribu satu malam saja. Ah, sudahlah!

***
Pangkep-Makassar, 2 Februari 2015



Komentar

Postingan Populer